Thank You. I read and take this article from.
Journal of Arabic Studies, 1 (2), 2016, 75-89
ANALISIS KISAH NABI YUSUF DALAM AL-QURAN MELALUI
PENDEKATAN INTERDISIPLINER PSIKOLOGI SASTRA
by Hanik Mahliatussikah/Universitas Negeri Malang.
This story was begun with the dream of Yusuf, sunk into the
well, sold to Egyptian merchant, flirted by the wife of his merchant, found by
his family, and the lessons of his story.
Nabi Yusuf seorang yang berbakti kepada Allah dan ayahnya,
menyayangi saudaranya, dan selalu menjaga diri dari perbuatan mungkar, serta
selalu menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Ia mendapatkan pahala
berupa kedudukan mulia dalam pemerintahan di Mesir. Perbuatan baik dibalas
dengan kebaikan yang berlipat, sedangkan perbuatan jahat dibalas dengan
semisalnya.
Dalam Islam juga dikenal 3 tingkatan nafsu, yaitu :
(1.)an-nafs al-ammârah - nafsu yang selalu mendorong
pemiliknya kepada perbuatan yang buruk.
(2.)an-nafs al-lawwâmah - nafsu yang selalu mengecam
pemiliknya setiap kali berbuat kesalahan, sehingga timbul penyesalan dan
berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan.
(3.) an-nafs al-muthma`innah - adalah jiwa yang tenang
karena selalu mengingat Allah dan jauh dari segala pelanggaran dan dosa.
Superego merupakan sistem kepribadian yang berisikan
nilai-nilai dan aturan-aturan yang sifatnya evaluatif. Fungsi utama superego
adalah :
(a) pengendali dorongan-dorongan naluri id agar disalurkan
dalambentuk yang bisa diterima di masyarakat,
(b) mengarahkan ego pada tujuantujuan yang sesuai dengan
moral dibanding dengan kenyataan,
(c) mendorong individu kepada kesempurnaan (Koswara, 1991:
34-35).
Id, ego, dan superego itu hendaknya berjalan seimbang. Jika
tidak, akan menimbulkan neurosis dalam diri manusia.
Kisah Nabi Yusuf terdiri atas 10 episode, yaitu :
(1.)mimpi Nabi Yusuf,
(2.)Nabi Yusuf disingkirkan saudaranya,
(3.)Nabi Yusuf dijual kepada orang Mesir,
(4.)rayuan istri orang kepada Nabi Yusuf,
(5.)jamuan makan,
(6.)dalam penjara,
(7.)mimpi raja
(8.)kebebasan Nabi Yusuf,
(9.)Nabi Yusuf menjadi pejabat pemerintah,
(10.)pertemuan dengan keluarga, dan i’tibar dari kisah Nabi
Yusuf.
Umumnya, seorang anak kecil yang diletakkan dalam sumur
dalam keadaan tak berbaju lalu ditinggalkan saudaranya, pastilah ada rasa
takut, cemas, khawatir yang dikejawantahkan melalui tangisan dan jeritan.
Tetapi Nabi Yusuf tidak demikian. Ia terhibur dengan makna mimpi yang diceritakan
sang ayah. Apalagi, ia mendapat wahyu ketika berada di sumur itu bahwa ia tidak
perlu khawatir dan pasti Allah akan menyelamatkannya. Suatu ketika, ia akan
menceritakan perbuatan ini kepada mereka (QS.12: 15). Jiwa yang pasrah dan
tawakkal serta keimanan yang penuh kepada Dzat tertinggi Yang Maha menolong
mengakibatkan jiwa Nabi Yusuf menjadi tenang.
Berdasarkan teori psikologi perkembangan, dinyatakan bahwa
anak usia 8 -10 tahun berada dalam tahapan katarsis emosional. Ia mampu
memanfaatkan emosi, mengontrol emosi, mengendalikan emosi dalam rangka
pencarian identitas diri. Pencarian jati diri itu dimulai dengan sikap
menyembunyikan emosi, meninggalkan emosi, dan penyesuaian emosi dengan situasi.
Emosi pada masa ini sudah mencapai taraf keseimbangan (Baraja, 2008: 144-146).
Pada usia 10-13 tahun anak berada dalam tahapan motivasional, yakni seorang anak
memiliki harapan untuk dapat mencapai sesuatu yang diinginkan. Pada masa ini
anak akan melanjutkan pencarian jati diri melalui penggunaan kemampuan
kognitif, afektif, dan kemampuan fisik (Baraja, 2008: 148-151). Jika Nabi Yusuf
pada waktu dimasukkan ke dalam sumur berada dalam usia sebagaimana tersebut,
berarti emosi Nabi Yusuf ketika menghadapi perilaku para saudaranya secara
psikologis sudah bisa dikendalikan dan tertata.
Sikap membohongi orang tua dengan sedih dan menangis yang
dilakukan oleh para saudara Nabi Yusuf menunjukkan bahwa kebohongannya tidak
ingin diketahui sang ayah. Karena itu, mereka berusaha menutupi dengan membawa
bukti baju Nabi Yusuf yang berlumuran darah. Jiwa Nabi Ya’kub yang berduka itu
kemudian terobati dengan sikap bersabar dan berserah diri kepada Allah (QS.12:
18).
Tujuan kesabaran itu adalah untuk menjaga keseimbangan
emosi agar hidup tetap stabil. Sabar bukan berarti tidak bertindak, tetapi ia
ibarat benteng pada saat menghadapi musuh yang kuat. Dari dalam benteng,
seseorang mempersiapkan diri kemudian terjun menghalau musuh sekuat kemampuan
(Qurays Shihab, 2002: 400).
Dalam teori psikologi, kekuasaan merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan (needs) adalah keadaan yang menimbulkan
motivasi. Maslow membagi kebutuhan menjadi lima tingkat :
(1) kebutuhan biologis,
(2) kebutuhan rasa aman, terhindar dari kecemasan dan
ketakutan,
(3) kebutuhan sosial (mencintai dan dicintai),
(4) kebutuhan-kebutuhan harga diri, dan
(5) kebutuhan aktualisasi diri.
Adapun McCleland berpendapat bahwa setiap orang memiliki
tiga jenis kebutuhan dasar :
(1) kebutuhan akan kekuasaan, yaitu keinginan untuk
mempengaruhi orang lain,
(2) kebutuhan untuk berafiliasi, yaitu kebutuhan untuk
memiliki teman, menjalin persahabatan,
(3) kebutuhan berprestasi, yaitu kebutuhan untuk berhasil
dalam tugastugas, nilai akademik yang baik.
Nabi Yusuf dipertemukan dengan keluarganya (Qs.12:58-61).
Para saudara Nabi Yusuf yang datang padanya untuk mengambil jatah bahan makanan
yang dibagikan kepada penduduk Mesir dan sekitarnya. Rasa rindu Yusuf kepada
Benyamin dan ayahnya yang telah terpendam lama, mendapatkan kesempatan untuk
bertemu. Pertemuan dengan saudara ini dalam teori kebutuhan termasuk kebutuhan
sosial.
Kisah Nabi Yusuf memberikan pelajaran bagaimana seseorang
yang harus tetap teguh pada keimanan dan prinsip-prinsip Islam meskipun
menghadapi berbagai ujian dan cobaan hidup yang silih berganti. Kesabaran dan
tidak putus asa serta bertawakkal akan membuahkan kesuksesan.
Kejujuran akan membawa manusia pada derajat yang tinggi.
Rasa takut kepada Allah dan selalu merasa dalam pengawasan Allah telah membuat
manusia terhindar dari perbuatan keji. Allah akan selalu menolong hambanya yang
selalu berdoa, baik di kala sempit maupun di kala lapang.
Melalui kisah ini, terdapat pelajaran bagi umat manusia
untuk selalu menuntut ilmu dan berbuat baik dan menebarkan kebaikan serta
menjadi pemaaf bagi para pendengki.
Ia menjaga
kehormatannya dan rela berkorban demi menegakkan kebenaran. Akibat sikapnya itu
dan disertai dengan ketinggian ilmu, ia mendapatkan kedudukan yang mulia di
sisi Allah dan masyarakatnya.
“Dan raja
berkata: ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat
kepadaku.’ Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengannya, dia berkata:
‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi orang yang berkedudukan tinggi lagi
dipercaya pada sisi kami.’ (QS. 12:54) Berkata Yusuf. ‘Jadikanlah aku bendaharawan
negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi
berpengetahuan.’ (QS. 12:55)” (Yusuf: 54-55)