Thursday, April 26, 2012

Galaunya versi “Mahasiswa Tahun Akhir”



Segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi, akan selalu ada yang namanya pergantian dan silih berganti, apakah itu pergantian dari siang ke malam, dari hujan ke panas, dari muda menjadi tua hingga dari mahasiswa baru menjadi mahasiswa akhir. Setiap tahunnya bagi universitas universitas besar yang selalu kebanjiran mahasiswa baru pastinya juga akan kebanjiran untuk mewisudakan mahasiswa lamanya yang akan menjadi sosok wisudawan atau wisudawati dan menyandang gelar sarjana dan biasanya dilakukan dalam rentang waktu yang berbeda beda. Sebuah gelar yang tentunya sangat diidam idamkan dan menjadi impian bagi sekelompok orang yang menyandang status sebagai mahasiswa. Secara sosial gelar ini membawa ke dalam sebuah prestasi dan kepuasan tersendiri, karena memang untuk mendapatkan gelar seperti ini butuh perjuangan yang tidak hanya sekedar namun ekstra agar bisa tercapai.
Ekstra, karena rata rata dari  universitas yang ada di kota Padang bahkan di seluruh Indonesia, salah satu  prasayarat untuk menyandang gelar sarjana dan lulus adalah harus menghasilkan sebuah karya ilmiah yang sering disebut skripsi atau tugas akhir. Sementara untuk membuat yang namanya tugas akhir tidaklah seperti copi paste dari blog atau hanya menyalin referensi ilmiah yang sudah ada, namun benar benar membuat sebuah karya berdasarkan metode metode ilmiah serta menerapkan konsep konsep hingga melakukan penelitian.  
Masa empat tahun menyandang status sebagai mahasiswa, merupakan masa masa tahun akhir  di mana pada masa ini mahasiswa akan disibukkan oleh yang namanya tugas akhir, namun tak jarang juga sudah ada yang memulai untuk menyusun di semester 6, ada yang memulai di semester 7, bahkan ada juga yang baru mulai di semester 9 atau 10, rentang waktu yang memang berbeda dan hanya bisa dilakukan oleh orang yang memang memilih mana yang dijadikan sebagai prioritasnya.
Banyak di antara mahasiswa tahun akhir dalam proses bimbingan yang terkadang berhenti  di tengah jalan. Idealnya sebuah skripsi itu bisa selesai dalam waktu tiga bulan jika intens pengerjaan dan bimbingannya, namun ternyata ada yang melebihi batas waktu tiga bulan bahkan ada yang mencapai satu tahun dalam pengerjaannya. Sungguh benar benar merupakan perjuangan yang menuntut banyak energi ekstra untuk melakukannya. Dimulai dari menunggu dosen pembimbing untuk bimbingan, bahkan ketika sudah membuat janji pun ternyata menunggu selama 2 minggu bahkan satu bulan karena kesibukan yang luar biasa yang dimiliki oleh dosen yang bersangkutan. Sebuah konsekuensi yang memang harus dijalani oleh mahasiswa jika mendapatkan dosen yang demikian, maka tak heran banyak yang menumpahkan air mata, pun ketika setelah keluar dari ruangan konsultasi bersama dosen pembimbing langsung merasakan lemas badan, wajah, tangan dan kaki seakan akan mendapatkan sentruman listrik yang tegangannya luar biasa yang efeknya bisa melemaskan saraf di seluruh badan, bahkan untuk jalanpun sempoyongan.
Ada lagi tipe mahasiswa yang biasa biasa saja, yang sebelum dan sesudah masuk dari ruangan konsultasi mengeskpresikan kedataran wajah alias bingung, karena si mahasiswa segan pada si dosen untuk bertanya dan sudah ciut nyali duluan jika terlalu banyak bertanya nanti kena semprot.
Ada lagi tipe mahasiswa bimbingan yang setelah keluar dari ruangan konsultasi bersama dosen pembimbing merasakan kepuasan tersendiri setelah berdiskusi dengan dosen pembimbing karena merasa kebingungannya dalam menulis terobati ketika curhat dengan si dosen.
Yah begitulah lika liku dan karakter perjalanan yang ditempuh dan memang harus dilewati oleh mahasiswa yang ingin menuntaskan perjalanan akhirnya sebagai seorang mahasiswa. Bahkan dalam membuat tugas akhir ini tak jarang dari mahasiswa yang belum selesai perang sudah gugur di tengah jalan, mudah mudahhan kita tidak menjadi bagian yang gugur sebelum semuanya selesai, amin.
Sebuah kata bijak yang bisa dikaitkan di sini adalah berlelah lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah berjuang. Jadi anggaplah semua proses bimbingan yang dimulai dari awal mulai dari ditolaknya judul bahkan harus diganti dua puluh kalipun, kemudian dirombak dari pendahuluan hingga sistematika penelitian, serta harus menghadapai wejangan sakti dari dosen, maka “It’s OK”, itu adalah sebuah perjuangan untuk meraih manisnya status diri sebagai mahasiswa, mau kena pembentukan karakter diri oleh dosen sekalipun, mau hasil pemikiran karya kita ditolak, dan lain lainnya yang terpenting dari semua itu adalah kita mendapatkan arahan dan masukan terbaik dari dosen paling baik karena mau mencurahkan waktunya untuk perbaikan skripsi kita.
Selain itu kembali mengintropeksi diri sendiri apakah diri kita sudah sungguh sungguh dalam pengerjannya  karena Albert Einsten yang pintar sekalipun  dalam percobaannya untuk membuat lampu  pada percobaan ke seratus baru ia  mendapatkan pengakuan atas karya yang dia ciptakan, dan dia tidak pernah menyerah dan terus berusaha untuk menciptakan dan memperbaiki karya karyanya. Begitu juga dengan diri kita yang sedang disibukkan dalam proses pembuatan skripsi. Tidak ada manusia yang bodoh di dunia ini, yang ada hanya manusia yang malas berusaha, asalkan berusaha dan bisa mendisiplinkan diri untuk belajar teratur serta menambah kahasanah pengetahuan yang mendukung ke sana, maka insyallah bisa. Seorang sahabat pernah berkata otak manusia itu lebih canggih dibanding komputer. Jadi jangan mau kalah dengan komputer yang diciptakan oleh manusia, selama ini mungkin kita menggantungkan diri pada komputer tapi ternyata komputerlah yang bergantung pada manusia karena manusialah yang menciptakan komputer karena kecanggihan otak manusia itu tadi. Semakin diasah, dia semakin tajam dan canggih, semakin diajak untuk berfikir dan membaca maka ia semakin dirangsang untuk lebih menemukan ide ide baru. Semoga dengan tulisan sederhana ini bisa mengobati kegalauan versi mahasiswa tahun akhir  ^_^. Manjaddawajada.

Wednesday, April 25, 2012

Dua jalan menuju Pengetahuan


Dua jalan menuju Pengetahuan[1]
Hubungan Internasional sebagai bidang ilmu tersendiri lahir setelah Perang Dunia I. Dalam perkembangannya selama lebih dari ¾ abad ini, secara garis besar terdapat dua pendekatan akademis untuk mempelajarinya yaitu pendekatan tradisionalis dan pendekatan saintifik.
Pendekatan tradisionalis menurut Charles A. McClelland, pada waktu itu berkembang pendapat bahwa studi hubungan internasional menuntut kemampuan intelektusl yang begitu banyak sehingga hal ini hanya dimungkinkan dilakukan oleh mahasiswa pascasarjana yang matang dan betul betul terlatih. Terdapat beberapa alasan :
1.Seorang yang mempelajari studi hubungan internasional harus memiliki dasar pengetahuan yang kuat tentang sejarah berbagai negara serta pemahaman atas bahasa di berbagai negara tersebut agar bisa memahami gagasan dan perasaan suatu bangsa. 
 2. Untuk dapat memperolehnya maka harus memiliki pengalaman minimal menetap atau melakukan penelitian di negara tersebut. 
 3.  Pengetahuan yang mendalam hanya bisa didapat dalam ruang lingkup yang terbatas yaitu menelaah kasus kasus secara seksama dan mendalam, misalnya studi kasus politik luar negeri Indonesia di masa Demokrasi Terpimpin.
Ilmuwan yang menggunakan pendekatan (wisdom outlook) ini seperti Hans J Morgenthau, Henry Kisinger, atau Hedley Bull melakukan perenungan atas pengalaman pribadi dan studi sejarah untuk mendapatkan pengetahuan dalam studi hubungan internasional. Dan hasil studinya merupakan suatu “pemahaman” yang tidak sepenuhnya ‘intuitif’ tapi lebih merupakan pemberian makna umum pada suatu fakta khusus. Menurut pendekatan ini pengetahuan tentang hubungan internasional tidak bisa diperoleh dengan jalan pintas melainkan diperoleh dengan cara pengalaman praktis dan studi masa lalu agar pengetahuan tersebut bisa diterapkan ke fakta dan situasi masa kini.
Sementara pendekatan saintifik didasarkan pada keyakinan bahwa banyak hal baru dalam perilaku internasional yang perlu dipelajari dan bahwa bisa melakukan penemuan tentang arus interaksi yang terjadi dalam hubungan internasional dan ini merupakan yang esensi dalam studi hubungan internasional itu sendiri. Ilmuwan hanya bertugas menemukan pola pola pengulangan dan perilaku internasional untuk diramalkan tentang apa yang mungkin terjadi dalam hubungan internasional. Prosesnya hampir sama dengan meteorologi. Di mana ahli cuaca meramalkan keadaan cuaca di suatu tempat dengan menggunakan suatu alat dan bisa jadi ramalan cuaca benar bisa jadi tidak benar. Tapi yang terpenting proses ini tidak memberikan kepastian terhadap suatu fenomena melainkan hanya sebuah kemungkinan agar bisa sedia payung sebelum hujan. Dan ilmu ini akan selalu berkembang untuk memperbaiki kesalahan kesalahan dalam prediksi sebelumnya. Dan pendekatan saintifik juga serupa dengan yang dilakukan oleh ahli cuaca ini.
Pendekatan Saintifik dalam Ilmu Sosial
Pendekatan Saintifik dalam Ilmu Sosial merupakan suatu metode analisa yang objektif, logis, sistematis untuk mendeskripsikan, menjelaskan dan meramalkan suatu fenomena yang bisa diamati. Berdasarkan definisi ini dapat diketahui bahwa ciri ciri utama sains yaitu :
       1. Sains : suatu metode analisa, bukan suatu kumpulan pengetahuan. Sains merupakan suatu aktifitas, proses dan bisa dibedakan dengan hasilnya.
          2. Tujuan akhir sains adalah deksripsi, eksplanasi, prediksi. 
                3.    Fenomena yang bisa diamati
       4.Bersifat obejktif, logis dan sistematis




                [1] Mohtar Mas’oed. Ilmu Hubungan Internaional : Disiplin dan Metodologi

Tuesday, April 24, 2012

Dari mereka yang berpengalaman


Pelayanan rumah sakit yang dilakukan oleh  salah seorang perawat  rumah sakit umum di kota Padang sangatlah  tidak memuaskan dan menyenangkan hati pelanggan. Seorang pasien yang dirawat di ruangan flamboyan embun pagi dibuka selang infusnya karena ketika pergi ke kamar mandi infus tersebut menyumbarkan darah dari lengan si pasien, kemudian perawat jaga siang di sana bermaksud membukanya untuk membersihkan darah yang berceceran keluar dari selang infus, kemudian si perawat memakaikannya kembali ke lengan si pasien, tapi ternyata si perawat  mungkn  belum ahli betul memasang selang infus, jarum tersebut menyembur entah ke mana, tidak pas pemasangan selang infus dari jarumnya terpaksalah karena si pasien merasa kesakitan, atas permintaan sementara selang infus yang ada jarum tersebut dibuka dan tidak dipasang lagi. Semenjak dibukanya selang infus dari tubuh si pasien dari jam 15.00 hingga magrib, si pasien mulai merasakan pusing pusing di kepalanya, sudah diadukan kepada perawat jaga untuk segera memasangkannya kembali dengan baik, namuan respon tak kunjung datang, alasan perawat yang jaga malam tersebut adalah karena pasien baru pindah dan untuk memasukkan selang infus  harus mendapatkan persetujuan dokter yang jaga juga, kemudian sekitar pukul 20.00 keluhan dari keluarga si pasien diadukan kembali untuk segera memasang selang infus  kepada perawat jaga, tapi ternyata ketika ditanyakan baik baik oleh keluarga si pasien, respon perawat malah tidak menyenangkan, jawaban yang sangat ketus dilontarkan, bahkan terkesan kasar dan marah marah, bukannya mendapatkan ketenangan dari si perawat, malah menambah kesakitan tersendiri untuk segi psikologis si pasien.
Apa ini yang namanya pelayanan dari  rumah  sakit ? Bukankah moto yang terpampang di sana adalah “kepuasan anda adalah kepuasan bagi kami”.  Jika perilaku dan pelayanan perawat rumah sakit ketus dan tidak menyenangkan seperti di atas, apa bisa memberikan kepuasan dan kenyamanan bagi para pasien?  Ditambah dengan harus mengikuti prosedur prosedur yang rumit seperti di atas, analogi sederhananya seperti ini, ketika ada yang sekarat, namun karena harus mengikuti prosedur menunggu ini dan itu, apakah jiwa yang sekarat yang seharusnya mendapatkan pertolongan lebih awal dan lebih cepat itu harus menjadi korban? Ini yang tidak didahulukan dan didapatkan dari pelayanan rumah sakit umum tersebut. Belum lagi ketika ada pasien yang berobat atau masuk rumah sakit dengan menggunakan kartu Askes, Jamkesmas atau apapun namanya selalu dijadikan pasien kesekian untuk dilayani. Sementara pasien yang berobat secara umum mendapatkan pelayanan yang pertama. Pengkotak kotakkan seperti ini jelas tidak berperikemanusiaan karena setiap orang yang datang ke rumah sakit menggunakan apapun dia berhak mendapatkan pertolongan dan pelayanan kesehatan. Toh yang menggunakan kartu Askes dan Jamkesmaspun juga dibayar kan?
“terinspirasi dari keluhan sebagian masyarakat”